Sekte-sekte dalam Agama Hindu
a. Sekte Bhakti
Sekitar
tahun 500 SM, muncul beberapa kecenderungan “pemujaan”, pelayanan atau
kebaktian yang mencakup pengertian percaya, taat dan berserah diri
kepada dewa. Pemujaan dan kebaktian kepada dewa itu dinyatakan dalam
puja yang perwujudannya kadang-kadang dinyatakan dengan mempersembahkan
berbagai macam buah-buahan dan bunga-bungaan kepada para dewa disertai
dengan penyelenggaraan upacara mengitari kuil-kuil tertentu. Puja dan
bhakti tersebut dilakukan dengan hidmat dan sikap badan tertentu,
seperti sikap merebahkan dan meniarapkan diri di dekat patung yang
terdapat dalam kuil atau tempat-tempat yang dianggap suci lainnya sambil
mengucapkan beberapa doa.[1]
Urain tentang bhakti terdapat dalam
kitab Narada Bhakti Sutra dan Shadilya Sutra. Kitab ini banyak
membicarakan wawasan keagamaan pada sekte bhakti yang terdapat di India.
Menurut sutra-sutra tadi, bhakti bukannya merupakan suatu “pengetahuan”
dan juga bukan merupakan “perbuatan ritus”, juga bukan merupakan
“sistem keagamaan”, tetapi merupakan kasih sayang, ketaatan, kepatuhan
dan penyerahan diri kepada sesuatu. Bhakti adalah “pasrah”
setulus-tulusnya (prapatti) bukan kepada suatu objek yang bersifat
duniawi tetapi hanya kepada “dewa” semata dengan segenap avatara atau
ingkarnasinya. Karena itu barang kali ada benarnya kalau dari pengertian
di atas dikatakan bahwa bhakti lebih tinggi daripada meditasi
falsafi.[2]
Wujud bhakti memiliki jenjang istilah maupun sikap
sebagai tatakrama mewujudkan rasa bhakti yang beretika. Istilah bhakti
itu diantaranya:[3]
Menghormati adalah pencetus bhakti terhadap semua
makhluk, terhadap semua ciptaan Tuhan baik yang nyata maupun tidak
nyata. Kita patut saling hornat menghormati sesama makhluk hidup, sesama
ciptaan Tuhan yang mana masing-masing ciptaan-Nya itu telah memiliki
hukumnya masing-masingyang seharusnya berjalan selaras dengan perputaran
roda hukumnya masing-masing.
Memuja adalah wujud bhakti dalam bentuk
lamtunan puji-pujian yang ditujukan kepada kebesaran Tuhan baik dalam
bentuk manifestasi-Nya atau sifat-sifat ketuhananyang memberi berkah-Nya
pada kebutuhan hidup ini. Puji-pujian yang dikidungkan dalam pemujaan
adalah untuk ymenyenangkan yang dipuja, mewujudkan rasa senang dan rasa
tenang dalam kebahagiaan.
Berdoa adalah wujud bhakti yang dilakukan
dalam menyampaikan permohonan kehadapan-Nya. Atas ketidak mampuan dan
keterbatasan kita wajib berdoa agar diberkati dan diampunu segala dosa
serta kekurangan- kekurangan kita.berdoa adalah sebagai wujud rendah
hati, sebagai wujud kesadaran akan keterbatasan kita sebagai manusia.
Menyembah
adalah bentuk bhakti sebagai penyerahan diri yang dilakukan dengan
tulus dan penuh kepasrahan terhadap kemaha agungan Tuhan.
b. Sekte Wisnu
Sekte
ini lebih mmengutamakan pemujaan kepada dewa Wisnu karena dewa ini
sangat sympatik bagi mereka dengan sifat-sifatnya yang berdasar pada
perasaan bhakti (cinta).
Pandangan pengikutnya antara lain
menyatakan bahwa kebaikan Wisnu dengan Bhaktinya ialah yang dapat
memberikan jaminan kedamaian hidup bagi uumat pemujanya, karena itu
cukuplah bagi pengikut-pengikutnya untuk menyerahkan diri saja
kepada-Nya.
Sikap penyerahan diri kepada-Nya akan membawa mereka
kepada Nirwana. Segala kebaikan bhakti Wisnu itu dilukiskan dengan
panjang lebar dalam sucinya yaitu kitab Purana
Didalam kitab tersebut
diceritakan bagaimana manifestasi can kebaikan bhakti Wisnu dalam
usahanya menolong ummat manusia dari segala bentuk kehancuran dan
kejahatan. Dengan jelma (melakukan avatara) menjadi berbagai makhluk
ajaib dalam 10 rupa, maka kehancuran dan kejahatan dapat dihindari.
Kesepuluh avatara tersebut adalah:[4]
(1) Matsyavatara, berupa ikan besar untuk menolong manusia pada saat banjir besar melanda dunia yang akan menenggelamkannya.
(2)
Kurnavatara, sebagai kura-kura untuk menolong dewa-dewa pada waktu
mengaduk samudera guna mendapatkan air amerta (air hidup) yakni air yang
bilamana diminum orang akan mengalami hidup kekal abadi.
(3) Narashimha, sebagai singa yang berbadan manusia yang membunuh raksasa yang tidak bisa dibunuh olehsiapapun.
(4)
Varahavatara, sebagai babi rusa yang menolong manusia dengan
menggigit bumi yang pada saat itu akan dibawa karpatala (neraka dibawah
bumi) oleh musuh-musuh manusia.
(5) Vamanavatara, sebagai oarang
cebol yang dapat mengalahkan cucu raksasa yang bernama Narashinka. Cucu
raksasa tersebut bernama Bali (Daitya Bali)
(6) Budhavatara, sebagai budha yang bertugas melemahkan musuh-musuh dewa yang menyebarkan ilmu palsu.
(7)
Parasuramvatara, sebagai kesatrya yang bersenjatakan parasu ( kampak)
membunuh beberapa kesatrya yang menghina ayahnya, sebagai pembalasan
atas penghinaan tersebut.
(8) Ramavatara, rama sebagai kesatrya,
anak Dasarata yang dibuang kehutan belantara, dimana ia kehilangan
isterinya Shinta, karena perbuatan Dasamuka (Rahmana) yang berwatak
rakus dan yang menganiaya ummat manusia. Akhirnya Rama dapat membunuh
Rahwana serta dapat merebut kembali isterinya, (cerita tentang Rama
tersebut diuraikan dalam kitab Ramayana).
(9) Kalkiavara, sebagai
Kalki ( Ratu Adil) yang dapat mmententramkan dunia yang mengalami
kekacauan akibat perbuatan makhluk-makhluk jahat di dunia.
(10) Kresnavatara, sebagai Kresna yang kemudian membunuh Raja Kamsa (seorang raja Mathura kemenakan Kresna).
Semua
avatara Wisnu tersebut merupakan salah satu gambaran simbolis yang
mencerminkantentang kebenaran kepercayaan Wisnuisme kepada adanya “juru
selamat” di dunia dan manusia dari kehancuran hidupnya.
Wisnu
biasanya dibedakan menjadi 4 sampradaya pokok atau sekte, diantaranya
yang sangat kuno adalah Sri Sampradaya yang diperkenalkan oleh Ramanuja
Acarya, kira-kira pertengahan abad ke-12. Para Pengikut Ramanuja
memuliakan Wisnu dan Laksmi beserta inkarnasinya, mereka disebut
pengikut Ramanuja atau Sri Sanpradayin atau Sri Waisnawa.[5]
c. Sekte Siwa
Penganut
Hindu dari sekte Siwa meyakini Tuhan adalah Siwa. Salah satu bentuk
pemujaan Siwa yang dilakukan oleh pada Pendeta Siwa adalah dengan
mengucapkan mantra yang disebut sebagai Mantra Catur Dasa Siwa, yakni
empat belas wujud Siwa.[6]
Mantra ini digunakan untuk mendapat pengaruh ke-Tuhan-an yang kuat dan suci serta untuk mendapat kebahagian sekala-niskala.
Mantra itu sebagai berikut:
Om Ang Prasada Kala Siwaya namah
Om Ang Stiti Kala Siwaya namah
Om Ang Kala-kutha Siwaya namah
Om Ang Maha-suksma Siwaya namah
Om Ang Suksma Siwaya namah
Om Ang Anta-kala Siwaya namah
Om Ang Adhi-kala Siwaya namah
Om Ang Parama Siwaya namah
Om Ang Ati–suksma Siwaya namah
Om Ang Suksma-tara Siwaya namah
Om Ang Suksma-tama Siwaya namah
Om Ang Sada Siwaya namah
Om Ang Parama Siwaya namah
Om Ang Sunia Siwaya namah
Pendeta
Siwa yang mengucapkan dan meresapkan Mantra Catur Dasa Siwa ingin
mendudukkan Siwa dalam tubuh/ dirinya mulai dari bagian bawah tubuh
sampai ke bagian atas tubuh, yakni:
Mantra nomor 1 untuk kaki kanan
Mantra nomor 2 untuk kaki kiri
Mantra nomor 3 untuk perut
Mantra nomor 4 untuk pusar
Mantra nomor 5 untuk hati
Mantra nomor 6 untuk tangan kanan
Mantra nomor 7 untuk tangan kiri
Mantra nomor 8 untuk mata kanan
Mantra nomor 9 untuk mata kiri
Mantra nomor 10 untuk telinga kanan
Mantra nomor 11 untuk telinga kiri
Mantra nomor 12 untuk sela-sela alis
Mantra nomor 13 untuk ujung hidung
Mantra nomor 14 untuk ubun-ubun
Pemeluk-pemeluk
aliran ini sangat optimis terhadap kebulatan kekuasaan dewa Siwa ini,
karena ia dipercayai dapat menjelma menjadi berbagai bentuk kedewataan
yang menggambarkan akan kekuasaannya yang besar. Kekuasaannya meliputi:
penentuan hidup dan matinya manusia dan kekuasaannya adalah yang
tertinggi diantara dewa-dewa.
Pada masa permulaan Agama Hindu, Siwa
tidak pernah dipuji orang sebagaimana halnya Wisnu. Sebagai tanda
kekuasaannya dewa ini digambarkan secara fantastis dengan tangan empat.
Bilamana ia sedang menjadi Siwa Maha Dewa (Maheswara) maka tak ada dewa
atupun yang dapat mengalahkan kekuasaannya. Bilamana ia sedang menjelma
menjadi dewa Maha Guru maka Siwa adalah sebagai oarang tua berjanggut
yang saleh dan suka membimbing manusia ke arah hidup bahagia. Sebagai
ciri watak-wataknya sebagai guru, dia disimbulkan dalam bentuk orang
yang membawa kendi, sapu lalat (cemara) dan tasbih ( akshamala). Tetapi
bilamana ia sedang menjelma menjadi Mahakala, maka watak serta sikapnya
dilukiskan sebagai raksasa yang buas merusak apa yang dikehendaki dan
kejam. Oleh karena itu sebagai tanda pada Kroda (amarahnya) diberi
simbol Parasu (Kanpak), Trisula (lembing dengan tiga mata). Dan Fesu
(jaring).[7]
Jadi keistimewaan Dewa Siwa ini adalah dapat mempunyai
watak/sifat-sifat pribadi yang satu sama lain kadang-kadang berlawanan.
Dalam pemujaan-pemujaan demikian mereka memberikan korban-korban dan
saji-sajian setiap waktu tertentu dibawah pimpinan pendeta-pendetanya.
d. Sekte Sakti
Sebenarnya
aliran ini masih dapat dimasukkan sebagai bagian dari aliran Siwa,
tetapi karena yang disembah dan dipuji bukan lagi Siwa melainkan
saktinya dalam bentuk Darga, dan karena lebih luasdan lebih mendalam,
maka lebih tepat kalau dianggap sebagai salah satu aliran keagamaan
tersendiri dalam agama Hindu. Sakti adalah kekuatan, prinsip aktif yang
menyebabkan Siwa mampu menciptakan. Tanpa Sakti tersebut Siwa tidak akan
dapat berbuat apa-apa karena Siwa adalah prinsip pasif. Karena itu
Sakti menjadi lebih penting daripada Siwa sendiri. Segala sesuatu
terjadi karena bersatunya prinsip pasif dengan prinsip aktif. Yaitu
persatuan Siwa dengan Saktinya, Durga.[8]
Persatuan antara Siwa dan
Saktinyaadalah persatuan antara laki-laki dan perempuan, yang
dilambangkan sebagai Linga dan Yoni. Karena itu hubungan seks mempunyai
arti yang ssangat penting dalam sekte Sakti ini. Karena segala sesuatu
tercipta melalui persatuan tersebut, maka egala sesuatau mengandung
kekuatan dan Sakti Siwa. Bentuk-bentuk tertentu dari Sakti dan segala
sesuatu adalah baik; tidak ada yang tidak baik. Hanya orang yang tidak
mengerti saja yang beranggapan bahwa ada yang baik dan ada yang tidak
baik. Ini keliru, karena anggapan itu hanya didasarkan pada kesadaran
manusia sendiri. Untuk mencapai kebenaran dan kelepasan (moksa) manusia
harus melepaskan diri dari belenggu kekeliruan ini. Ia harus melepaskan
kesadarannya sendiri sehingga dapat menyadari kebenaran bahwa segala
sesuatuadalah perwujudan dari Sakti dan Siwa, dan bahwa semua adalah
baik.[9]
e. Sekte Tantra
Aliran ini dalan usaha mencapai
Nirwana lebih mementingkan cara penbacaan manter-mantera rahasia dan
membebaskan ruang gerak hawa nafsu. Dalam kitab Tantrisme yang disebut
kitab “AGAMA” dan “TANTRA” dinyatakan bahwa “Hendaknya manusia jangan
mengekang hawa nafsunya tetapi sebaliknya hawa nafsu harus dibebaskan
dan diberi kepuasan. Dengan demikian, maka jiwa manusia menjadi merdeka
dari segala tekanan-tekanan psikisnya”.
Cara-cara yang ditempuh ialah
menjalankan 5 (lima) “ma” yang terdiri dari Matsya: makan ikan
sebanyak-banyaknya. Mada: meminum tuak sebanyak mungkin. Mansa: makan
daging sebanyak-banyaknya. Mudra: makan sejenis nasi (padi-padian)
sebanyak-banyaknya. Akhirnya Mauethua: melepaskan nafsu birahi
sebanyak-banyaknya dengan wanita.[10]
Dengan kepuasan nafsu tersebut,
manusia dapat melepaskan diri dari samsara. Adapun sistem ajaran
Tantrayana tersebut diberikan dalam bentuk percakapan antara Siwa dengan
Durga (isteri Siwa).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar